VOJ – Sidang kasus pencemaran nama baik antara Razman Nasution dan Hotman Paris di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis (6/2/2025) menjadi sorotan publik. Bukan hanya karena perdebatan sengit antara kedua pihak, tetapi juga karena tindakan mengejutkan dari salah satu kuasa hukum Razman, Firdaus Oiwobo. Dalam suasana sidang yang semakin memanas, Firdaus tiba-tiba melompat ke atas meja, menciptakan kegaduhan yang membuat para pengacara lain di ruangan meminta agar dirinya segera turun.
Aksi ini segera menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk pakar hukum yang menilai tindakan tersebut sebagai hal yang sangat tidak patut dan tidak beretika sebagai advokat. Bahkan, tindakan Firdaus itu bisa jadi sebuah penghinaan terhadap institusi peradilan.
Sigit Budi Santoso, SH MH, pakar hukum dari Universitas Wisnuwardhana (Unidha), menegaskan bahwa tindakan Firdaus tidak hanya tidak sopan tetapi juga mencoreng kehormatan pengadilan. Menurutnya, ruang sidang adalah tempat yang harus dijaga martabatnya, terlepas dari apakah sidang masih berlangsung atau telah ditutup.
“Sidang boleh saja sudah ditutup, tetapi itu bukan berarti kita bisa bertindak semaunya. Pengadilan tetap harus dihormati. Logikanya, apakah setelah sidang selesai pengadilan kehilangan harga dirinya? Tentu tidak,” tegas Sigit.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam dunia advokat, ada standar etika yang harus dipatuhi, dan tindakan seperti melompat ke meja sidang jelas melanggar norma tersebut. Ketika nantinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang baru telah diberlakukan, tindakan yang merendahkan pengadilan bahkan bisa dikategorikan sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan dan memiliki konsekuensi hukum lebih serius.
“Terlebih lagi ketika nantinya KUHP nasional sudah berlaku, maka tersebut bisa saja menjadi sebuah penghinaan terhadap peradilan atau lembaga peradilan. Maka, bisa kena si firdaus kalau yang tersinggung dari pengadilannya,” katanya.
Sigit juga menyarankan agar pihak yang merasa keberatan dengan aksi Firdaus segera melaporkannya ke organisasi profesi advokat untuk diperiksa oleh Dewan Etik. “Setiap advokat memiliki kode etik yang harus dihormati. Jika ada pelanggaran, maka ada mekanisme yang bisa ditempuh, termasuk sanksi dari organisasi profesinya,” ujarnya.
Tindakan Firdaus ini membuka diskusi lebih luas tentang bagaimana etika profesi advokat harus dijaga di ruang sidang. Jika Dewan Etik organisasi advokat menerima laporan terkait aksinya, bukan tidak mungkin Firdaus akan menghadapi konsekuensi berupa teguran, pembekuan izin praktik, atau bahkan pencabutan lisensi sebagai advokat, tergantung pada tingkat pelanggaran yang dinilai.