VOICEOFJATIM.COM – Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) terus merambah ke berbagai sektor, termasuk ranah hukum. Namun, kehadiran teknologi ini justru membuka kerentanan baru, terutama bagi masyarakat awam maupun praktisi hukum pemula.
Praktisi hukum, Dwi Indro Tito Cahyono, S.H., M.M, menilai dunia hukum di Indonesia sering kali berjalan lebih lambat dibandingkan laju teknologi. Kondisi ini membuat regulasi belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan yang dibawa AI.
“Selama hukum belum mengatur, maka aturan lama masih berlaku. Tapi ketika hukum baru hadir, maka ia menjadi mengikat. Saat ini, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun sudah terbilang jadul untuk mengatur fenomena AI yang makin canggih,” jelasnya.
Dwi Indro menyoroti kebiasaan sebagian masyarakat, terutama mahasiswa hukum atau pengacara pemula yang lebih sering mengandalkan Google untuk mencari pasal-pasal hukum. Padahal, informasi yang beredar di internet tidak selalu akurat maupun sesuai dengan naskah undang-undang yang berlaku.
“Browsing di Google itu rawan salah tafsir. Masyarakat bisa saja menemukan pasal yang berbeda atau penjelasan yang keliru,” tegasnya.
Menurutnya, langkah awal yang lebih tepat adalah merujuk langsung pada Kitab Undang-Undang Hukum maupun regulasi resmi. Untuk pemula, memahami penjelasan dalam undang-undang sangat penting, sementara bagi ahli hukum, pendalaman bisa dilakukan melalui interpretasi mendalam atas teks undang-undang itu sendiri.
Lebih lanjut, Dwi Indro menekankan pentingnya sosialisasi hukum secara masif, baik melalui seminar, diskusi akademik, maupun kajian ilmiah. Hal ini diperlukan agar masyarakat tidak sekadar mengandalkan ringkasan instan dari internet, melainkan benar-benar memahami pasal dan penjelasan hukumnya.
Ia juga menilai perlu adanya usulan revisi undang-undang, khususnya UU ITE, agar selaras dengan perkembangan teknologi terbaru.
“AI harus masuk dalam regulasi. Kalau tidak, kita akan terus ketinggalan. Undang-undang itu harus diperbarui agar bisa menjawab situasi hukum yang baru,” pungkasnya.
Menurut Dwi Indro, literasi hukum tidak bisa hanya mengandalkan dunia digital. Masyarakat tetap perlu mengombinasikan akses informasi secara online maupun offline. Membaca langsung dokumen undang-undang, mengikuti diskusi, hingga belajar dari praktisi menjadi cara yang lebih aman agar tidak terjebak pada pengetahuan setengah matang dari internet.