Reformasi Hukum Pidana Asia Melaju, Indonesia Masih Sibuk dengan Perdebatan Lama

KOTA MALANG, VOICEOFJATIM.COM
Saat negara-negara Asia bergerak cepat menyesuaikan sistem hukum pidana mereka dengan teknologi dan kecerdasan buatan, Indonesia justru masih terjebak dalam perdebatan usang yang tak kunjung tuntas.

Hal itu ditegaskan Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB), Fachrizal Afandi, dalam Konferensi Tahunan ke-2 Asian Law Schools Association (ALSA) Criminal Law Chapter yang digelar di Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand, pada (9/6-10/6/2025).

Forum ini mempertemukan akademisi hukum pidana dari berbagai negara untuk membahas arah reformasi hukum acara pidana yang semakin digital dan responsif terhadap tantangan zaman.

Fachrizal menilai Indonesia belum menunjukkan progres berarti dalam membenahi hukum acara pidananya. Ketika negara seperti India dan Malaysia sudah berbicara tentang algoritma dan etika kecerdasan buatan, Indonesia masih bergelut dengan perdebatan klasik soal model due process versus crime control, serta peran pengawasan yudisial dalam proses penegakan hukum.

“Negara-negara lain sudah membahas teknologi, kita masih sibuk debat dominus litis dan judicial scrutiny—itu PR sejak era 1980-an yang belum kelar juga,” tegas Fachrizal yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI).

Ia juga menyoroti bagaimana alasan seperti luasnya wilayah Indonesia atau keterbatasan pengadilan masih kerap dijadikan tameng untuk tidak memperkuat perlindungan hak korban dan tersangka.

Konferensi yang berlangsung selama dua hari ini menghadirkan para pakar dari Australia, India, Singapura, Malaysia, hingga Indonesia. Sejumlah pembicara ternama seperti Prof. Mrinal Satish, Dr. Rebecca Wallis, Prof. Stanley Yeo, Dr. Daniel Pascoe, Dr. Haezreena Begum, serta akademisi dari Universitas Padjadjaran juga turut memberikan perspektif.

Salah satu pembicara, Dr. Nagarathna Annappa dari India memaparkan penerapan sistem pelaporan polisi berbasis online melalui First Information Report (FIR). Di India, dokumen ini bisa dibuat daring, proses penyidikan bisa menggunakan rekaman video, dan pengajuan berkas perkara sudah bisa dilakukan secara elektronik.

Namun ia mengingatkan bahwa tanpa standar operasional prosedur yang ketat, digitalisasi justru bisa melahirkan pelanggaran HAM. “Kelompok rentan yang minim akses teknologi bisa makin tertinggal,” katanya.

Isu serupa diangkat oleh Dr. Karan Singh Chouhan dan Dr. Aditi Kavia yang menyoroti penggunaan sistem predictive policing di India seperti HunchLab dan CMAPS. Teknologi ini bisa memperbesar risiko salah target, terutama jika data yang digunakan bersifat bias.

“False positives bisa merugikan kelompok yang tak bersalah, apalagi yang berasal dari komunitas marginal,” ucap Kavia.

Sementara itu, Dr. Haezreena Begum dari Universitas Malaya menyampaikan bahwa Malaysia telah mulai menerapkan AI dalam membantu hakim menjatuhkan hukuman. Algoritma digunakan untuk memberi rekomendasi berdasarkan pola putusan sebelumnya, meski belum sampai pada keputusan akhir. Langkah ini dinilai efisien, tetapi tetap menimbulkan kekhawatiran soal transparansi dan potensi diskriminasi.

Dari Australia, Dr. Rebecca Wallis mendorong reformasi hukum yang tidak hanya menyentuh materi hukum, tapi juga sistem pembuktian dan perlakuan terhadap korban. Ia menunjukkan bagaimana Queensland kini mengadopsi model hukum perkosaan yang lebih afirmatif dan mengakui kekerasan non-fisik sebagai tindak pidana.

“Reformasi tidak bisa cuma ubah satu pasal. Kita harus lihat sistem secara menyeluruh—dari proses pengadilan sampai pelatihan aparat,” ujar Wallis.

Prof. Stanley Yeo dari National University of Singapore menyampaikan bahwa digitalisasi adalah hal yang tak terhindarkan. Namun, kata dia, prinsip dasar hukum seperti praduga tak bersalah dan keadilan prosedural harus tetap jadi landasan utama.

“Kita tidak bisa terus menolak teknologi, tapi juga tidak boleh menerimanya tanpa etika,” tegas Yeo.

Fachrizal menyebut konferensi ini sebagai alarm bagi Indonesia. Saat negara lain sudah merancang sistem hukum acara pidana berbasis teknologi dan keadilan, Indonesia masih berkutat pada istilah dan konsep yang sama sejak puluhan tahun lalu.

“Hukum pidana tidak bisa hanya berhenti di teks. Ia harus menjadi sistem yang hidup, adil, dan menjawab tantangan zaman. Reformasi bukan sekadar kosmetik,” pungkas Fachrizal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *