RKUHAP 2025 Dinilai Lemahkan Perlindungan HAM, Akademisi Desak Pengawasan Yudisial Lebih Kuat

VOICEOFJATIM.COM – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 kembali menuai kritik dari kalangan akademisi. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB) menyoroti sejumlah pasal yang dinilai berpotensi mengikis perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan melemahkan kontrol terhadap aparat penegak hukum.

Dekan FHUB, Dr. Aan Eko Widiarto, SH., M.Hum., menegaskan bahwa sikap kampus bukanlah untuk membela kepentingan polisi atau kejaksaan, melainkan menjaga objektivitas akademik. “Kami melihat RKUHAP dari perspektif hukum pidana murni, bukan dari sudut pandang politik kekuasaan,” tegasnya.

Salah satu poin krusial yang diangkat Dr. Eko adalah pentingnya judicial scrutiny, yakni mekanisme pengawasan peradilan terhadap setiap tindakan aparat, mulai dari penangkapan, penahanan, hingga penuntutan. “Kewenangan polisi dan jaksa harus bisa dikendalikan pengadilan karena menyangkut hak dasar warga, seperti kebebasan dan perlindungan dari tuduhan tanpa bukti,” jelasnya.

Ia juga menyoroti lemahnya integrasi lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, dan Komisi Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT). “Pengawasan mereka masih bersifat eksternal, tidak sistemik. Idealnya, kontrol harus tertanam (embedded) dalam sistem peradilan itu sendiri,” ujarnya.

Kritik serupa disampaikan Dr. Nurini Aprilianda, SH., M.Hum., pakar hukum pidana FHUB. Ia menilai konsep “penyidik utama” dalam RKUHAP berisiko membuka peluang pelanggaran HAM. “Ketika kewenangan terpusat pada satu institusi tanpa koordinasi kuat, potensi kesewenang-wenangan meningkat, terutama dalam tindakan paksa seperti penahanan,”** paparnya.

Selain itu, Nurini menyayangkan minimnya perlindungan korban dalam RKUHAP. “Perlindungan korban masih sekadar administratif, belum menyentuh kebutuhan substansial. Padahal, korban harusnya menjadi subjek, bukan sekadar objek dalam proses hukum,” tegasnya.

Para akademisi FHUB menegaskan komitmen mereka untuk terus mengawal proses penyusunan RKUHAP 2025 agar berpihak pada keadilan dan HAM. Mereka berharap masukan dari dunia akademik dapat menjadi pertimbangan serius bagi pembuat kebijakan. “Hukum acara pidana harus transparan, adil, dan benar-benar melindungi hak warga, bukan justru menjadi alat represi,” tandas Dr. Eko.

Dengan berbagai catatan kritis ini, RKUHAP 2025 diharapkan tidak hanya menguatkan penegakan hukum, tetapi juga menjamin perlindungan HAM secara konkret. Jika tidak, dikhawatirkan UU ini justru akan menjadi bumerang bagi demokrasi dan keadilan di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *