Mahasiswa UB Soroti Korupsi Tambang, Desak Transparansi dan Reformasi

VOJ – Kasus korupsi di sektor pertambangan kembali menjadi sorotan setelah skandal tata niaga timah yang menyeret PT Timah Tbk terungkap. Kasus ini menjadi bahan kajian dalam Mimbar Demokrasi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB), yang menyoroti lemahnya regulasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam tata kelola pertambangan di Indonesia.

Guru Besar Ilmu Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam UB, Prof. Dr. Rachmad Safa’at, SH, MSi, menyatakan bahwa mahasiswa harus memahami bahwa teori yang mereka pelajari harus diuji dengan realitas yang terjadi. “Saat ini teori yang dipelajari itu berhadap-hadapan langsung dengan realitas yang terjadi, yaitu tentang korupsi dalam tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa korupsi di sektor ini bukan hanya sekadar kasus kecil, tetapi sudah menjadi masalah besar yang berdampak luas. “Kalau kita total, hampir Rp2.000 triliun. Jumlah itu bisa digunakan untuk membangun ribuan sekolah atau menyekolahkan jutaan anak yang saat ini masih kesulitan mendapatkan akses pendidikan,” katanya.

Menurutnya, kasus korupsi timah yang merugikan negara Rp271 triliun menjadi bukti nyata bahwa sumber daya alam hanya dikuasai oleh segelintir orang. “Hampir 75 persen sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh oligarki, termasuk tambang batu bara, perkebunan, dan industri tambang lainnya. Tanah untuk perkebunan sawit saja sudah mencapai 18 juta hektare, yang sebagian besar dimiliki oleh pihak asing, termasuk pengusaha Malaysia,” jelasnya.

Penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung menemukan bahwa modus korupsi dalam kasus ini melibatkan kolusi antara pejabat pemerintah dan pengusaha yang mengamankan izin pertambangan secara ilegal. Mantan Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung diduga menyetujui Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan smelter secara tidak sah, sehingga tambang ilegal dapat beroperasi tanpa hambatan. Hasil tambang dari aktivitas ilegal ini kemudian dijual kembali ke PT Timah Tbk dengan skema yang menyamarkan asal-usulnya.

Kajian yang dilakukan mahasiswa Fakultas Hukum UB mengidentifikasi bahwa dari 35 risiko korupsi dalam sektor pertambangan, 85% masuk dalam kategori signifikan hingga sangat tinggi. Risiko terbesar berasal dari kelemahan dalam perancangan proses perizinan sebesar 54%, diikuti oleh praktik korupsi di lapangan sebesar 20%, regulasi yang lemah sebesar 14%, serta rendahnya akuntabilitas dan lemahnya penegakan hukum masing-masing sebesar 6%.

Prof. Rachmad juga menyoroti lemahnya penegakan hukum dalam kasus ini. Ia mencontohkan bahwa pelaku utama dalam kasus korupsi timah, Harvey Moise, hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dengan alasan “bersikap sopan”.

“Bayangkan, orang yang mencuri uang negara Rp271 triliun hanya dihukum 6,5 tahun. Karena dianggap sopan, hukumannya diringankan. Ini kan main-main. Setelah protes, akhirnya dihukum 20 tahun, tapi kenapa di tingkat pertama dia hanya dapat hukuman ringan?” katanya.

Ia juga mengkritisi bagaimana pejabat publik sering kali memiliki konflik kepentingan dalam industri tambang. “Saat ini banyak pejabat yang memiliki perusahaan tambang, padahal itu jelas-jelas konflik kepentingan. Seharusnya mereka tidak boleh memiliki tambang, karena kalau mereka membuat kebijakan, ya tentu saja itu akan menguntungkan diri mereka sendiri,” tegasnya.

Menurutnya, pemerintah hanya akan bertindak jika mendapat tekanan dari masyarakat. “Pemerintah tidak akan melakukan penindakan hukum kalau tidak didorong oleh rakyat. Kita harus terus mengawasi, jangan sampai kasus seperti ini menguap begitu saja,” ujarnya.

Mahasiswa Fakultas Hukum UB dalam Mimbar Demokrasi merekomendasikan sejumlah langkah reformasi tata kelola pertambangan, antara lain meningkatkan transparansi dalam perizinan pertambangan termasuk mengungkap identitas pemilik manfaat utama (beneficial owner), memperkuat regulasi dan penegakan hukum agar proses perizinan lebih jelas dan bebas dari konflik kepentingan, meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah guna menutup celah korupsi dalam sistem perizinan, mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengawasan izin pertambangan serta memberikan advokasi hukum bagi masyarakat terdampak, dan mempercepat implementasi kebijakan One Map untuk menciptakan tata kelola ruang yang lebih terintegrasi dan transparan.

Kasus korupsi di sektor pertambangan bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak lingkungan dan menghambat kesejahteraan masyarakat setempat. Mahasiswa Fakultas Hukum UB menegaskan bahwa tanpa reformasi yang serius, praktik korupsi dalam sektor ini akan terus berlanjut dan mengancam keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *