VOJ – Jagat media sosial tengah diramaikan dengan penarikan lagu Bayar Bayar Bayar milik band punk Sukatani dari platform musik. Keputusan ini menuai perdebatan karena dianggap membungkam kebebasan berekspresi dalam seni.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, Puji Karyanto, menyesalkan langkah tersebut. Menurutnya, keputusan menarik lagu itu mencerminkan adanya tekanan terhadap musisi dalam menyuarakan kritik sosial.
Seni sebagai Kritik Sosial
Puji menilai karya seni, termasuk lagu punk, harusnya mendapatkan apresiasi karena mampu menyuarakan realitas sosial. Ia mengutip konsep dulce et utile, yang berarti seni tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga memiliki nilai guna.
“Kebebasan berekspresi dalam seni tidak memiliki batasan khusus. Semua bentuk ekspresi dimungkinkan, namun tetap harus dipahami bahwa seni tidak berdiri sendiri. Ia terikat dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat,” jelasnya.
Seni, Sensor, dan Intimidasi
Puji juga menegaskan bahwa hakikat seni adalah menghadirkan kebaruan dan sering kali menantang kemapanan. Karena itu, tidak seharusnya ada intimidasi terhadap karya seni.
Jika seniman menghadapi tekanan, ada beberapa cara untuk tetap bersuara. Salah satunya dengan mengemas pesan secara simbolik agar tetap tersampaikan tanpa langsung berbenturan dengan pihak tertentu. Alternatif lainnya adalah memperkuat solidaritas antar-seniman dalam suatu organisasi, sehingga bisa menghadapi tekanan bersama.
Meski demikian, ia mengingatkan para seniman agar tetap cerdas dalam menyampaikan kritik melalui karya seni. “Pesannya harus tetap tersampaikan, tapi jangan sampai kehilangan esensi seni itu sendiri,” tutupnya.