Kasus Dugaan Pelecehan Seksual oleh Dokter, Pakar UB: Ini Puncak Gunung Es Sistem yang Lemah

MALANG, VOICEOFJATIM.COM – Dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) belakangan ini menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi. Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, menyebut kasus ini bukan sekadar insiden tunggal, melainkan mencerminkan lemahnya sistem pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan medis.

“Ini hanya puncaknya saja. Di balik kasus ini, ada persoalan besar yang tak tampak, semacam fenomena gunung es dari orang-orang dengan kelainan perilaku seksual,” ujarnya saat diwawancarai, Senin (15/4/2025).

Fachrizal menilai, meskipun pemerintah sudah menetapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada tahun 2022 dan banyak kampus telah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), efektivitasnya masih jauh dari harapan. Ia melihat munculnya kasus-kasus ke permukaan justru menjadi indikator bahwa mekanisme perlindungan belum berjalan optimal.

“Satgas yang ada sekarang belum bisa dibilang efektif. Perlu ada evaluasi menyeluruh dan penguatan peran mereka. Tapi di sisi lain, adanya regulasi dan satgas ini juga membuka ruang bagi korban untuk lebih berani bersuara. Dan ini adalah sinyal positif,” tuturnya.

Fachrizal menambahkan, praktik kekerasan seksual seperti ini sejatinya sudah lama terjadi namun bersifat laten dan tersembunyi. Kini, seiring dengan meningkatnya kesadaran publik, korban mulai berani melaporkan pelaku melalui berbagai kanal, termasuk media sosial. Ia menilai, akar dari persoalan ini tak lepas dari budaya patriarki yang masih mengakar kuat dalam masyarakat, termasuk di ranah akademik dan dunia medis.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya adanya standard operating procedure (SOP) yang tegas di dunia kesehatan. “Jangan sampai akses dokter terhadap obat-obatan disalahgunakan untuk melakukan tindakan yang menyimpang di kemudian hari,” tegasnya.

Menurut Fachrizal, penyelesaian kasus semacam ini tidak boleh lagi dilakukan secara damai atau kekeluargaan. Ia mendesak agar setiap dugaan kekerasan seksual ditindak secara hukum demi memberi efek jera bagi pelaku.

“Sistem pencegahan harus dibangun secara utuh. Jangan ada lagi penyelesaian damai untuk kasus-kasus seperti ini. Harus diselesaikan secara hukum dan profesional,” pungkasnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Wisnu Barlianto, menegaskan bahwa tindakan pelecehan seksual dalam bentuk apapun bertentangan dengan nilai-nilai dasar profesi medis. Ia menyebut, seorang dokter telah terikat sumpah untuk menjaga etika sejak awal kariernya.

“Rumah sakit harus menjadi ruang yang aman bagi pasien. Kalau ada dokter yang menyalahgunakan posisinya, berarti dia sudah melanggar sumpah profesinya,” ucap Wisnu.

Menurutnya, sejak tahap awal pendidikan, para calon dokter telah mendapatkan pelatihan tentang etika dan cara berinteraksi dengan pasien. Bahkan, dalam prosedur pendidikan spesialis pun ada sistem seleksi psikologis seperti MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) untuk mengukur integritas dan kesehatan mental calon peserta.

“Kalau nilainya tidak memenuhi standar, otomatis mereka tidak akan diterima,” jelasnya.

Ia juga mencontohkan, dalam pemeriksaan bagian tubuh sensitif, dokter tidak boleh sendirian, harus didampingi perawat. Hal ini sudah menjadi bagian dari kurikulum dan pelatihan di Fakultas Kedokteran UB.

“Kami selalu tekankan etika. Bahkan di setiap forum ilmiah, pasti ada sesi khusus yang membahas tentang etika,” tambah dokter spesialis anak ini.

Wisnu berharap insiden serupa tidak terulang lagi, karena hal ini mencederai marwah profesi kedokteran yang seharusnya menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas.

“Kami juga mendorong agar institusi pendidikan memperketat seleksi masuk, terutama bagi calon spesialis. Nilai-nilai etika juga perlu ditanamkan lebih intensif selama masa pendidikan,” tutupnya.

Kasus ini menjadi alarm keras bagi dunia medis dan akademik untuk lebih serius dalam membenahi sistem pencegahan kekerasan seksual, agar ruang-ruang yang seharusnya aman tidak justru menjadi tempat yang membahayakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *