MALANG, VOICEOFJATIM – Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) sukses menggelar perhelatan akbar dunia pendidikan bahasa, The 71st Teaching English as a Foreign Language in Indonesia (TEFLIN) International Conference 2025. Pertemuan yang berlangsung pada 8 hingga 10 Oktober ini dihadiri 630 peserta dari 13 negara dan mengusung tema penting mengenai deep learning serta pemanfaatan Kecerdasan Buatan (AI) dalam pengajaran.
Acara ini semakin strategis dengan kehadiran Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti. Dalam konferensi itu, Mu’ti menegaskan bahwa penguasaan Bahasa Inggris bukan lagi sekadar pelengkap kurikulum, melainkan fondasi penting bagi masa depan pendidikan Indonesia di tengah era kecerdasan buatan. Untuk itu, pemerintah berencana memperkenalkan pelajaran Bahasa Inggris pada jenjang yang lebih awal mulai tahun 2027.
Mu’ti menjelaskan bahwa kebijakan ini adalah langkah mendasar agar generasi muda mampu bersaing dalam komunikasi global dan literasi digital. “Ini bukan hanya soal menambah mata pelajaran, tapi membangun ekosistem,” ujarnya. Ia menekankan bahwa kunci keberhasilan terletak pada peningkatan kompetensi guru. “Kita butuh lebih banyak guru yang kompeten mengajar bahasa Inggris, bukan hanya dari jurusan pendidikan bahasa Inggris, tapi juga guru bidang lain yang dilatih untuk itu. Mereka adalah kunci sukses kebijakan ini.”
Ketua panitia pelaksana, Zuliati Rohmah, menjelaskan tema konferensi dipilih karena sangat relevan dengan arahan pemerintah yang menekankan pentingnya pembelajaran bermakna di era digital. “Tema yang kita ambil memang sedang hangat dan berkaitan dengan kebijakan kementerian, yaitu pembelajaran mendalam. Kami kaitkan juga dengan penggunaan AI tentang apa manfaatnya, tantangannya, dan bagaimana guru menyikapinya di lapangan,” kata Zuliati. Menurutnya, teknologi AI harus menjadi alat bantu yang justru memperkuat kemampuan berpikir kritis dan inovatif, bukan malah menyingkirkan peran tersebut.
Mu’ti menambahkan, masa depan pendidikan menuntut keseimbangan antara deep learning dan mindful learning. Meskipun AI adalah alat yang revolusioner, jiwa pembelajaran tetap berada di tangan pendidik. Ia mengingatkan, “Guru tak bisa lagi sekadar mengajar materi. Ia harus memantik rasa ingin tahu, menuntun siswa berpikir mendalam, dan mengelola teknologi dengan cerdas agar tetap bermakna dan menyenangkan.” Pemerintah pun telah mulai menerapkan program berbasis AI di sejumlah sekolah, dan guru bahasa Inggris didorong untuk memadukan teknologi dengan pembelajaran berbasis nalar kritis. Ia tegas menyatakan, “AI bisa menganalisis data, tapi hanya manusia yang mampu menumbuhkan empati dan makna. Itulah yang membedakan pendidikan sejati dari sekadar transfer pengetahuan.”
Konferensi TEFLIN ke-71 yang bekerja sama dengan organisasi nasional TEFLIN dan ALTI, serta mitra dari Jepang, Thailand, Malaysia, dan negara lain, mencatatkan jumlah peserta tertinggi dalam sejarahnya. Dekan FIB UB, Sahiruddin, menyatakan pertemuan ini adalah wadah penting bagi para pendidik untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Namun, Sahiruddin juga menyoroti tantangan di lapangan, terutama terkait kesenjangan infrastruktur digital. “Ini peserta dari berbagai daerah dan negara. Tentu banyak hal yang menjadi beragam permasalahan dan tantangan. Salah satunya, tentang sarana pra sarana dalam kebutuhan koneksi internet,” jelasnya, mengingatkan bahwa isu keterjangkauan internet di daerah masih perlu perhatian serius agar implementasi AI bisa merata.
Rektor UB, Widodo, mengapresiasi langkah strategis pemerintah dan menyatakan kesiapan kampus. Menurut Widodo, kemampuan Bahasa Inggris sejak dini akan menjadi jembatan yang mempertemukan kearifan lokal Indonesia dengan dunia global. Ia yakin, “Dengan kemampuan bahasa Inggris sejak dini, suara anak bangsa dari pelosok pun bisa menembus forum internasional.” FIB UB menyatakan siap mendukung kebijakan ini, menjadikan program studi Bahasa Inggris sebagai laboratorium untuk pelatihan guru dan pengembangan metode pembelajaran yang selaras dengan teknologi.