SURABAYA, VOICEOFJATIM.COM – Menjelang Idul Fitri, praktik pemalakan tunjangan hari raya (THR) oleh oknum organisasi masyarakat (ormas) kembali marak meresahkan masyarakat. Dengan berbagai alasan, seperti sumbangan sukarela atau tradisi tahunan, sejumlah pihak memanfaatkan momentum hari raya untuk meminta THR secara paksa, baik kepada pelaku usaha maupun warga biasa. Fenomena ini tidak hanya ilegal, tetapi juga mencerminkan persoalan sosial yang lebih luas.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Widyanta, menilai praktik ini sebagai bentuk pemerasan, baik yang dilakukan secara halus dengan tekanan sosial maupun secara terang-terangan dengan ancaman langsung. “Setiap perusahaan sudah punya mekanisme sendiri dalam tanggung jawab sosialnya, sehingga tuntutan semacam ini tidak memiliki dasar hukum yang sah,” ujarnya, Kamis (27/3/2025).
Menurutnya, fenomena ini berkaitan erat dengan faktor sosial dan ekonomi. Banyak anggota ormas berasal dari kelompok masyarakat dengan pekerjaan tidak tetap. Tekanan ekonomi yang semakin berat mendorong mereka mencari cara untuk mendapatkan pemasukan, termasuk dengan cara yang tidak benar. Selain itu, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah juga memperburuk kondisi. “Saat anggaran daerah dipotong, banyak sumber pemasukan yang hilang, dan dampaknya sangat besar bagi masyarakat kelas bawah,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kesenjangan sosial yang semakin melebar sebagai salah satu pemicu maraknya aksi pemalakan oleh ormas. Di satu sisi, kelompok elite dengan mudahnya memamerkan gaya hidup mewah, sementara di sisi lain, banyak masyarakat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ketimpangan ini menciptakan frustrasi kolektif yang bisa mendorong tindakan menyimpang.
Fenomena ini tidak bisa dibiarkan karena berpotensi mengganggu stabilitas sosial dan dunia usaha. Widyanta menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara tegas tanpa pandang bulu, tanpa terpengaruh kepentingan politik atau kedekatan dengan aparat. Menurutnya, ormas yang melakukan pemalakan hanyalah bagian kecil dari masalah besar yang dihadapi negara. “Yang lebih berbahaya adalah pejabat yang menciptakan kebijakan tidak adil dan membiarkan ketimpangan sosial semakin melebar,” tegasnya.
Jika praktik ini terus berlanjut tanpa tindakan tegas, dampaknya bisa meluas ke berbagai sektor. Dunia usaha akan semakin tertekan, biaya ekonomi meningkat, dan iklim investasi terganggu. Hal ini juga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta memperburuk stabilitas sosial. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk menertibkan ormas yang beroperasi di luar batas hukum dan memastikan perlindungan bagi pengusaha agar bisa menjalankan bisnis tanpa tekanan dari pihak mana pun.