Pandangan Pakar: Menakar RUU KUHAP dan Masa Depan Penegakan Hukum

VOJ –  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menjadi sorotan dalam Seminar dan Diskusi Ilmiah bertajuk “Menata Ulang Sistem Penegakan Hukum: Tantangan dan Harapan” yang digelar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) pada Selasa (18/2/2025). Dua ahli, yakni pakar hukum pidana Prof. I Nyoman Nurjaya dan ahli kebijakan publik Andy Fefta Wijaya, mengkritisi berbagai aspek dalam rancangan regulasi tersebut.

Prof. Nyoman menekankan bahwa KUHAP tidak hanya mengatur mekanisme penegakan hukum, tetapi juga harus memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, perubahan dalam KUHAP harus didasarkan pada kajian akademik yang mempertimbangkan asas hukum, norma hukum, teori hukum, hingga konvensi internasional. Ia mengingatkan bahwa hukum pidana terbagi menjadi dua aspek utama, yakni hukum pidana material yang mengatur perbuatan pidana serta hukum pidana formil yang mengatur mekanisme penegakannya.

“RUU KUHAP ini harus selaras dengan hukum pidana material yang akan berlaku pada 2026. Selain itu, perlu ada penyesuaian dengan perkembangan teknologi, politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Tanpa itu, regulasi ini akan kehilangan relevansi,” ujarnya.

Sementara itu, Andy Fefta Wijaya menyoroti peran governance dalam sistem hukum. Ia menegaskan bahwa penegakan hukum harus berpihak kepada masyarakat yang termarginalkan. Dalam paradigma governance modern, penegakan hukum tidak boleh hanya berorientasi pada kepentingan negara semata, melainkan harus menjamin akuntabilitas serta mekanisme check and balance yang kuat.

“Jangan sampai terjadi sistem hukum yang terlalu dominan pada satu lembaga. Kalau semua fungsi dikendalikan satu pihak, itu berbahaya. Makanya, rancangan KUHAP, RUU Kejaksaan, dan RUU Kepolisian harus dikaji secara mendalam agar tidak terjadi ketimpangan kekuasaan dalam sistem hukum kita,” tegas Andy.

Ia juga menyinggung soal potensi “perang RUU” antara berbagai institusi hukum di Indonesia, yang bisa mempengaruhi stabilitas sistem peradilan pidana. Menurutnya, tanpa keseimbangan yang jelas, sistem hukum Indonesia bisa berujung pada superioritas satu lembaga atas yang lain.

Seminar ini menggarisbawahi bahwa reformasi hukum pidana di Indonesia bukan sekadar soal perubahan regulasi, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek HAM, keseimbangan kewenangan, dan respons terhadap dinamika sosial yang terus berkembang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *