VOICEOFJATIM.COM – Program Doktor Mengabdi Pengembangan Kemitraan Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM) Universitas Brawijaya yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Peradilan Pidana (PERSADA UB), menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang memantik kesadaran baru akan pentingnya keberpihakan hukum terhadap petani organik. FGD bertajuk “Penguatan Legalitas dan Pendidikan Hukum Petani Organik untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan di Malang Raya” ini berlangsung di Gedung Layanan Bersama Universitas Brawijaya dan menjadi ruang temu strategis antara akademisi, praktisi pertanian, penyuluh pemerintah, dan pelaku agribisnis organik.
Dalam sambutannya, Direktur DRPM UB, Prof. Luchman Hakim, menyampaikan bahwa PERSADA UB adalah salah satu pusat kajian paling aktif di UB yang mampu mentransformasikan riset menjadi keberpihakan sosial. Ia menegaskan bahwa DRPM UB mendorong model pengabdian masyarakat yang tidak berhenti pada kegiatan formalitas, melainkan menjembatani kampus dengan kebutuhan regulatif masyarakat. “Kami tidak ingin pengabdian hanya menjadi agenda laporan, tetapi harus menjadi gerakan pengetahuan yang berdampak. Apa yang dilakukan PERSADA UB hari ini adalah bentuk nyata kampus hadir dalam advokasi kebijakan,” ujar Prof. Luchman
Kegiatan ini dipimpin oleh Dr. Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H. selaku Ketua PERSADA UB. Dalam pembukaannya, ia menegaskan bahwa pembicaraan mengenai ketahanan pangan tidak bisa berhenti pada aspek produksi dan teknologi, tetapi harus menyentuh inti persoalan: akses legalitas dan perlindungan hukum bagi petani organik yang selama ini bekerja dalam ruang abu-abu regulasi. “Legalitas seharusnya menjadi pelindung, bukan penghalang. Sertifikasi organik tidak boleh menjadi alat seleksi yang meminggirkan petani kecil,” ujarnya.
FGD mengungkap realitas lapangan yang selama ini jarang tersorot media. Para narasumber menyampaikan bahwa biaya sertifikasi organik yang mahal dan sistem pengurusan administrasi yang berbelit telah membuat banyak petani memilih jalur informal tanpa perlindungan hukum. Mereka tetap menanam organik, tetapi tanpa pengakuan negara. Ironisnya, di saat pemerintah berbicara tentang food security dan pertanian berkelanjutan, kebijakan hukum justru masih berpihak pada sistem pertanian konvensional yang berbasis produksi massal. Produk organik yang seharusnya menjadi masa depan pangan justru kalah secara harga, akses distribusi, bahkan pengakuan legal.
Penyampaian materi oleh Prof. Dr. Agr. Sc. Ir. Hagus Tarno, S.P., M.P (Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Kota Malang) [Foto Kiri] dan Penyampaian materi oleh Indrad Mojo, S.P. (Penyuluh Pertanian Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Malang) dan Tim [Foto Kanan]
Prof. Hagus Tarno, Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Kota Malang menegaskan bahwa keberanian petani beralih ke sistem organik tidak didukung dengan instrumen hukum yang memudahkan. Banyak petani harus mengeluarkan biaya sertifikasi yang tidak sebanding dengan skala produksi mereka. Tantangan lain datang dari keterbatasan lahan dan persaingan harga yang tidak adil di pasar. Indrad Mojo dari Dinas Ketahanan Pangan Kota Malang menyoroti perlunya integrasi kebijakan hukum dalam program urban farming, agar tidak berhenti di tataran proyek, tetapi diakui sebagai bagian dari sistem pangan lokal yang sah secara kelembagaan.
Dari Kepala Bidang Pertanian Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu, Puspa Permanasari menambahkan bahwa perbandingan harga antara produk organik dan konvensional tidak bisa dilepaskan dari kebijakan negara. Tanpa intervensi hukum, produk organik akan selalu terlihat “mahal”, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah subsidi regulatif yang selama ini dinikmati sektor pertanian non-organik. Senada dengan itu, Budi Widodo (Pengawas Benih Tanaman Ahli Muda Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang) menggagas skema sertifikasi kolektif berbasis komunitas agar biaya lebih ringan, namun ia menegaskan perlunya landasan hukum agar model ini memiliki legitimasi administratif, bukan sekadar inisiatif lokal yang tidak diakui sistem.
Suara datang juga dari pelaku lapangan. Diyah Rahmawati Ningtyas, Founder Abang Sayur Organik, menyampaikan bahwa selama satu dekade menekuni pertanian organik, dirinya menyaksikan langsung bagaimana petani organik harus berdagang dengan status hukum yang lemah, sering kali ditindas oleh mekanisme pasar yang tidak adil. Shanindarianike dari Pusat Kajian Pertanian Organik Terpadu (PKPOT) mengingatkan bahwa inovasi teknologi seperti pengembangan pupuk nano dan digitalisasi distribusi harus bergerak seiring dengan inovasi hukum. “Jika inovasi teknologi melaju tetapi hukum tertinggal, maka petani tetap akan jalan sendiri tanpa perlindungan,” jelasnya.
Melalui FGD ini, PERSADA UB secara terbuka menyatakan bahwa perjuangan petani organik adalah perjuangan keadilan hukum agraria berbasis kedaulatan pangan. Negara tidak boleh netral dalam soal pangan. Ketika petani organik harus membayar lebih mahal untuk legalitas, sementara pelaku agribisnis konvensional berjalan lancar dengan fasilitas kebijakan, maka disitulah hukum gagal memainkan fungsi keadilan.
Sebagai langkah strategis, DRPM UB bersama PERSADA UB menyatakan akan menyiapkan draf rekomendasi kebijakan hukum berbasis temuan lapangan dan menyampaikannya kepada pemerintah daerah serta kementerian terkait sebagai bentuk intervensi intelektual kampus dalam pembentukan kebijakan pertanian organik yang berkeadilan. Langkah ini akan dilanjutkan dengan Workshop Pendidikan Hukum untuk Petani Organik Malang Raya pada 29 Oktober 2025, yang akan menjadi ruang konsolidasi rekomendasi hukum dan strategi advokasi berbasis komunitas.










