VOJ – Ketua Kompartemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Alfons Zakaria, resmi mempertahankan disertasinya yang berjudul “Penjatuhan Pidana Pembubaran Korporasi dalam Perspektif Kepastian Hukum” dalam ujian terbuka di Auditorium Gedung A, Lantai 6, FH UB.
Penelitian ini menyoroti pentingnya kepastian hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap korporasi, terutama dalam konteks pembubaran sebagai bentuk hukuman tertinggi bagi badan usaha yang terbukti melakukan tindak pidana.
Sidang disertasi ini dipimpin oleh tim promotor yang terdiri dari Dr. Abdul Madjid sebagai Promotor, serta Dr. Bambang Sugiri dan Dr. Sihabudin sebagai Ko-Promotor. Sementara itu, dewan penguji meliputi Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, Dr. Yuliati, Dr. Budi Santoso, dan Dr. Sarwirini.
Dalam pemaparannya, Alfons menekankan bahwa hukuman pembubaran korporasi harus memperhatikan aspek kepastian hukum agar tidak merugikan pihak-pihak yang berhubungan dengan korporasi tersebut, termasuk karyawan, pemegang saham, dan mitra bisnis.
Dalam penelitian ini, Alfons mengadopsi konsep Integrated Sentencing Theory, sebuah teori pemidanaan yang mengombinasikan pendekatan retribusi dan rehabilitasi untuk menyeimbangkan keadilan bagi korban dan peluang perbaikan bagi pelaku.
Teori ini menekankan pencegahan jangka panjang melalui deterrence khusus dan umum, serta menempatkan keadilan restoratif sebagai bagian dari sistem pemidanaan modern. Selain itu, pendekatan ini juga mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan teknologi dalam penerapan hukuman terhadap korporasi.
Alfons menjelaskan bahwa dalam menjatuhkan pidana pembubaran korporasi, hakim harus mempertimbangkan dua aspek utama. Aspek umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP 2023, mencakup tingkat kerugian yang ditimbulkan, keterlibatan pejabat korporasi, rekam jejak usaha, dampak pemidanaan terhadap keberlanjutan bisnis, serta kerja sama korporasi dalam penyelesaian kasus.
Sementara itu, aspek khusus meliputi pembentukan korporasi untuk melakukan tindak pidana, ancaman terhadap masyarakat dan negara, pengulangan tindak pidana, serta kegagalan dalam upaya perbaikan diri.
Sebagai alternatif dalam sistem pemidanaan, Alfons mengusulkan penerapan Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam RKUHAP. Mekanisme ini memungkinkan adanya kesepakatan antara korporasi yang terlibat dalam tindak pidana dengan jaksa penuntut umum, sehingga kasus dapat diselesaikan di luar pengadilan tanpa harus langsung menjatuhkan sanksi pembubaran. Menurutnya, pendekatan ini dapat memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki kesalahan dan menunjukkan itikad baik dalam memenuhi kewajiban hukumnya.
Selain DPA, Alfons juga menyoroti perlunya mekanisme pidana pembubaran tidak langsung atau percobaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 KUHP 2023, yang memberikan masa percobaan selama 10 tahun sebelum korporasi benar-benar dibubarkan. Ia juga menyinggung Pasal 123 KUHP 2023 yang membuka opsi bagi pengadilan untuk menjatuhkan tindakan pengambilalihan, pengawasan, atau pengampuan terhadap korporasi yang dinyatakan bersalah, sebagai alternatif selain pembubaran total.
Alfons berharap bahwa sistem pemidanaan terhadap korporasi dapat lebih efektif dalam menjamin kepastian hukum, melindungi masyarakat, serta mendorong reformasi hukum yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Ia menegaskan bahwa mekanisme seperti DPA dan masa percobaan dapat menjadi instrumen penting bagi jaksa penuntut umum dalam merancang pemidanaan yang lebih fleksibel dan sesuai dengan prinsip keadilan.