Revisi UU TNI Bisa Hidupkan Lagi Dwifungsi ABRI, PSKP UGM Soroti Perluasan Peran Militer di Jabatan Sipil

VOJ – Pemerintah kembali disorot terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang dianggap bisa membuka peluang lebih besar bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di sektor sipil. Salah satu contoh yang menuai kontroversi adalah pengangkatan Perwira Tinggi TNI AD, Novi Helmy Prasetya, sebagai Direktur Utama Bulog. Keputusan ini dipertanyakan banyak pihak, mengingat posisi tersebut bukan termasuk dalam daftar jabatan yang boleh diisi oleh personel militer aktif. Meskipun dinyatakan bahwa Novi telah mundur dari dinas militer, langkah ini tetap dinilai sebagai bentuk kembalinya Dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.

Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Muhammad Najib Azca, menilai tren pelibatan prajurit dalam jabatan sipil semakin meningkat. Padahal, menurut konstitusi, militer hanya diperbolehkan menduduki jabatan pemerintahan di sektor pertahanan dan keamanan, seperti di Badan Intelijen Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, dan Search and Rescue (SAR) Nasional.

“Dwifungsi ABRI ini sudah dihilangkan. Sekarang ini sudah mulai dimunculkan kembali bahkan sejak periode kedua pemerintahan Jokowi. Belakangan semakin meluas di pemerintah Presiden Prabowo,” ujar Najib, Selasa (18/2).

Najib menyoroti adanya perubahan dalam UU TNI pada pertengahan tahun lalu, di mana dua pasal, yaitu Pasal 47 dan 53, mengalami revisi. Dalam perubahan itu, ditambahkan klausul yang berbunyi: “Kementerian dan lembaga yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.” Dengan adanya ketentuan ini, prajurit aktif dapat mengisi jabatan di pemerintahan maupun sektor sipil tanpa harus mengundurkan diri dari status militernya, asalkan mendapat persetujuan Presiden. Revisi ini pun telah disetujui oleh seluruh fraksi DPR dalam Sidang Paripurna Mei 2024.

Najib melihat kecenderungan ini muncul sejak pemerintahan Jokowi yang ingin mendapatkan perlindungan dari militer. Namun, dengan Presiden Prabowo yang berlatar belakang militer, kemungkinan ekspansi peran TNI di sektor sipil akan semakin besar. “Revisi ini harus dicermati betul-betul. Jangan sampai hanya memberikan cek kosong kepada pemerintah untuk mengisi apa saja jabatan yang diperlukan. Harus ada diskusi publik yang serius,” tegasnya.

Selain permasalahan regulasi, Najib juga menyoroti bagaimana masyarakat merespons masuknya militer dalam jabatan sipil. Ia mengungkap bahwa publik masih cenderung menganggap militer sebagai institusi superior dibandingkan sipil. Berdasarkan survei Kompas pada Maret 2024, sebanyak 41,1% responden menolak jika jabatan sipil diisi oleh anggota TNI-Polri aktif, namun persentase yang sama juga menyatakan setuju. Bahkan, 5,8% responden mengaku sangat setuju dengan kebijakan tersebut.

“Ada keyakinan militerisme, di mana nilai-nilai militer dianggap punya kelebihan dibanding sipil. Perlu ada upaya de-militerisme untuk menyadarkan masyarakat bahwa urusan sipil tidak memerlukan militer,” jelas Najib.

Fenomena ini, menurutnya, tak lepas dari pengaruh era Orde Baru, di mana militer mendominasi berbagai posisi sipil. Akibatnya, banyak masyarakat yang memiliki sentimen positif terhadap militer, yang kemudian berkembang menjadi apa yang disebut sebagai militerisme. Hingga kini, upaya untuk membatasi ekspansi militer ke sektor sipil masih belum mendapatkan respons kuat dari publik.

Najib menilai bahwa de-militerisme di Indonesia bukan perkara mudah, sebab nilai-nilai militer sudah mengakar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk organisasi masyarakat dan satuan tugas partai politik. Ia pun menyoroti fakta bahwa Indonesia, selain Vietnam, merupakan satu-satunya negara yang masih menerapkan struktur teritorial militer sejak lama.

“Saya kira ini merupakan warisan perang gerilya dulu. Masalahnya adalah struktur ini diawetkan sampai hari ini. Padahal struktur ini tidak kompatibel dengan demokrasi,” ujarnya.

Menurutnya, partai politik seharusnya mengambil peran sebagai representasi politik publik dan menegaskan bahwa sektor sipil tidak harus diisi oleh militer. Selain itu, edukasi masyarakat tentang de-militerisme juga harus digencarkan. “Militer harusnya tetap ditempatkan dalam fungsi pertahanan. Meskipun ada wilayah non-militer yang bisa diberikan, jangan sampai batasan-batasan dihilangkan hingga seolah membangkitkan kembali sistem di era Orde Baru,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *