Dari Gang Kecil ke Dunia Digital: Kisah Mampesendong Menyulap Cwimie Jadi Inovasi Bisnis

VOICEOFJATIM.COM – Di sebuah gang sempit di Klojen, aroma gurih cwimie mengepul dari dapur mungil yang dulu hanya jadi saksi rutinitas sederhana. Kini, dapur itu berubah menjadi laboratorium inovasi. Nama usahanya: Mampesendong. Pemiliknya, Messadia, seorang lulusan Teknik Industri Universitas Brawijaya, tengah menulis ulang nasib bisnis rumahan miliknya, bukan sendirian, tapi bersama dua mahasiswa Magister Manajemen Universitas Negeri Malang (UM), Raditya M. Antara dan Agus Bambang Sunyoto.

Awalnya, Mampesendong hanyalah usaha kecil dengan pelanggan setia di sekitar kampus. Cwimie pedas manis, nasi ayam sambal ijo, dan nasi kuning andalannya memang lezat, tapi hanya berputar di lingkaran konsumen tetap. Penjualan stagnan, promosi nyaris nihil. Lalu datanglah dua mahasiswa itu, bukan dengan janji besar, melainkan dengan niat membangun dari dalam: membenahi sistem, mengajarkan pencatatan digital, dan merapikan wajah bisnis yang semula sederhana.

“UMKM itu tulang punggung, bukan pelengkap ekonomi,” ujar Agus Bambang Sunyoto, tegas. Ia percaya, setiap usaha kecil menyimpan potensi besar jika diberi alat yang tepat: ilmu, strategi, dan semangat inovasi.

IMG_202511306_180634323-150x150 Dari Gang Kecil ke Dunia Digital: Kisah Mampesendong Menyulap Cwimie Jadi Inovasi Bisnis
Produk Mampesendong yang kini telah mempunyai packaging baru

IMG_202511306_112602481 Dari Gang Kecil ke Dunia Digital: Kisah Mampesendong Menyulap Cwimie Jadi Inovasi Bisnis

Pendampingan mereka dirancang bukan sekadar pelatihan, tapi kolaborasi sejati. Bersama Messadia, mereka menjalankan empat langkah strategis: digitalisasi laporan keuangan, penyegaran desain visual, pengembangan strategi pemasaran daring-luring, dan inovasi produk yang menyesuaikan tren pasar.

Perubahan pertama muncul dari hal yang tampak sepele: menu. Dulu sekadar daftar makanan biasa, kini disulap menjadi katalog digital dengan foto profesional, harga jelas, dan visual menggoda. Banner serta identitas merek juga diperbarui, tampil modern dan siap bersaing di era media sosial. “Desain itu bukan hiasan. Ia bahasa yang bicara pada pelanggan,” tutur Agus.

Tak berhenti di sana. Bidang keuangan ikut dibedah. Melalui pelatihan sederhana, tim memperkenalkan pencatatan berbasis Google Spreadsheet agar seluruh transaksi tercatat rapi dan mudah dianalisis. Dari sana Messadia mulai membaca arus keuangannya, mana produk yang paling laku, di titik mana biaya bocor, dan kapan momentum penjualan terbaik muncul.

Sisi pemasaran pun ikut direvolusi. Akun Instagram yang dulu pasif kini hidup dengan strategi konten tiga arah: interaktif untuk membangun kedekatan, edukatif untuk menambah nilai, dan testimoni untuk menumbuhkan kepercayaan publik. Setiap unggahan dipikirkan, mulai dari waktu terbaik posting hingga cara menjawab komentar dengan gaya ramah. Hasilnya, Mampesendong kini punya wajah digital yang benar-benar hidup.

Namun gebrakan paling menarik lahir dari percakapan sederhana: bagaimana kalau cwimie bisa dijual dalam bentuk beku?. Gagasan itu melahirkan produk baru, frozen cwimie, inovasi yang memungkinkan pelanggan menikmati cita rasa khas Mampesendong kapan saja, di mana saja. Dengan kemasan higienis dan daya tahan lama, produk ini membuka pasar baru hingga luar kota. Dari dapur kecil, cwimie kini meluncur ke dunia online, menembus batas Malang.

“Pasar itu bergerak cepat. UMKM yang tidak berinovasi akan tertinggal,” ucap Agus menegaskan.
Bagi Raditya dan Agus, inilah bentuk nyata peran akademisi: bukan hanya meneliti, tapi menggerakkan ekonomi rakyat melalui aksi langsung.

Kisah Mampesendong menegaskan satu hal: perubahan besar bisa lahir dari langkah kecil yang konsisten. Di tengah lebih dari 65 juta UMKM di Indonesia yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja (data Kemenkop UKM 2024), keberhasilan satu usaha bukan sekadar pencapaian individu, tapi juga bagian dari denyut ekonomi bangsa.

Kini, aroma cwimie di gang kecil Klojen tak lagi sekadar tanda makan siang. Ia jadi simbol kebangkitan: dari wajan panas menuju layar digital, dari dapur rumahan ke panggung ekonomi kreatif. Mampesendong telah membuktikan, inovasi bukan monopoli perusahaan besar, ia bisa lahir dari tangan siapa pun yang berani belajar, beradaptasi, dan menyalakan nyala perubahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *