VOICEOFJATIM.COM – Di saat dunia makin dikuasai algoritma dan mesin cerdas, STIE Malangkucecwara justru mengajak generasi muda untuk kembali menatap akar: nilai-nilai Pancasila. Kampus ekonomi yang dikenal dengan budaya etikanya ini menjadi tuan rumah kegiatan “Penguatan Relawan Gerakan Kebajikan Pancasila”, hasil kolaborasi antara DPR RI, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan STIE Malangkucecwara, Jumat (17/10/2025).
Acara yang dikemas sebagai dialog kebangsaan itu tak hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga ajang perenungan tentang makna Pancasila di tengah revolusi digital. Hadir di antaranya anggota Komisi XIII DPR RI Ahmad Basarah, tokoh yang konsisten menyuarakan aktualisasi nilai-nilai Pancasila di kalangan muda, serta perwakilan BPIP yang menyoroti pentingnya pembinaan ideologi di era serba otomatis ini.
Dari balik podium, Ketua STIE Malangkucecwara, Drs. Bunyamin, M.M., Ph.D., menyampaikan pandangan yang jujur dan reflektif. Ia mengakui, berbicara tentang bisnis baginya bukan hal baru, tapi membangun karakter pancasilais di era digital adalah tantangan yang jauh lebih kompleks.
“Kalau urusan bisnis saya percaya diri. Tapi membentuk insan yang berkarakter di tengah banjir teknologi, itu perjuangan yang lebih dalam,” ujarnya.
Bunyamin lalu memperkenalkan konsep “attitude”, yang telah lama menjadi DNA pendidikan di kampusnya. Konsep itu berisi tujuh nilai utama: apresiatif, manajemen waktu, kerja tim, inisiatif, empati, dedikasi, dan semangat belajar tanpa henti. Ia menegaskan, tiap nilai tersebut sejatinya bersumber dari semangat Pancasila.
“Gotong royong hidup dalam teamwork. Disiplin dan tanggung jawab muncul dalam manajemen waktu. Sementara semangat belajar tanpa henti mencerminkan iman kepada Tuhan, karena orang yang terus belajar sejatinya sedang beribadah,” tutur Bunyamin.
Baginya, AI bukan lawan, tapi cermin moral. Ia mencontohkan bagaimana aplikasi seperti Google Calendar dapat menjadi alat belajar etika waktu bagi mahasiswa. “AI bisa bantu mahasiswa mengatur prioritas, bukan sekadar mengatur jadwal. Tujuannya bukan sekadar produktif, tapi agar hidupnya seimbang, tidak stres, dan tetap manusiawi. Itu bagian dari Pancasila juga,” jelasnya.
Bunyamin menekankan bahwa AI harus tunduk pada etika manusia, bukan sebaliknya.
“AI bukan dewa. Orang yang berintegritas akan mengaku menggunakan AI, tapi tetap berpikir kritis. Teknologi itu hanya alat, bukan pengganti nalar,” tegasnya.
Nilai attitude yang dibangun di kampus ini bukan teori dadakan. Dua dekade lalu, STIE Malangkucecwara sudah mengembangkan sistem pembelajaran yang berorientasi pada soft skill dan karakter. Program seperti Pengenalan Soft Skill Mahasiswa (PSSM) menjadi tahap awal penanaman nilai itu sejak mahasiswa baru menginjakkan kaki di kampus.
Para dosen pun dilatih untuk menghargai kejujuran mahasiswa. “Kalau ada mahasiswa jujur bilang dia pakai AI untuk bantu tugas, tapi tetap berusaha memperbaiki hasilnya, itu kita apresiasi. Integritas mahal, dan itu harus dilatih,” katanya.
Menurutnya, pendidikan sejati tak boleh hanya mengandalkan sanksi, tapi membangkitkan kesadaran moral.
“Kalau mahasiswa terlambat datang, jangan langsung diusir. Tanyakan dulu kenapa. Pendidikan bukan sekadar mengajar, tapi mendidik nurani,” ucapnya pelan namun tegas.
Ia percaya, mahasiswa yang tumbuh dengan nilai-nilai attitude akan menjadi generasi yang tak hanya siap kerja, tapi juga siap menjadi manusia Indonesia seutuhnya. “Mereka akan punya pikiran kritis, empati, dan etika berdialog dengan AI tanpa kehilangan kemanusiaannya. Itulah manusia pancasilais versi abad digital,” ungkapnya.
Menutup dialog, Bunyamin menyampaikan keyakinannya bahwa nilai-nilai itu tak akan lekang dimakan zaman.
“Setiap kali asesor akreditasi datang, mereka selalu bilang: this is good. Karena attitude bukan tren, tapi akar karakter bangsa,” pungkasnya.










