VOICEOFJATIM.COM – Di balik label “organik” yang kian populer di pasar, para petani organik sejatinya masih berjuang dalam sunyi. Mereka menanam tanpa pestisida, menjaga kesuburan tanah, tetapi kerap berhadapan dengan persoalan hukum yang tak mereka pahami. Sementara petani konvensional memperoleh subsidi dan perhatian negara, petani organik justru berjalan sendiri di jalur terjal yang tak berpapan.
Kesadaran akan ketimpangan inilah yang melahirkan inisiatif Pusat Riset Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya) bersama LPBHNU dan LPPNU Kota Malang. Lewat program Doktor Mengabdi, mereka menggelar workshop bertajuk “Penguatan Legalitas dan Pendidikan Hukum Petani Organik untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan di Malang Raya” di Gedung PCNU Kota Malang, forum yang mempertemukan akademisi, pemerintah, dan petani dalam satu ruang gagasan yang membumi.
Dalam sambutannya, Prof. Luchman Hakim, Ketua DRPM UB, menegaskan bahwa isu petani organik bukan sekadar urusan pangan, melainkan masa depan bumi.
“Petani organik adalah penjaga bumi yang tersisa. Mereka harus dibantu, bukan dibiarkan,” ujarnya.
Dari sisi hukum, Fajar Santosa, Sekretaris LPBHNU, mengingatkan ancaman nyata yang kerap menimpa petani: kriminalisasi akibat ketidaktahuan hukum.
“Kesadaran hukum itu vital. Tanpa itu, petani bisa jadi korban sistem yang tak berpihak,” ucapnya.
Yusuf Effendi, Pengawas Mutu Hasil Pertanian dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu, membuka sesi materi dengan paparan yang menampar realitas. Ia menyoroti fenomena “organik semu”, praktik pertanian konvensional yang dibungkus label organik.
“Dari penggunaan benih hingga alat pertanian, masih banyak yang belum steril. Akibatnya, banyak produk gagal memenuhi standar, bahkan bisa terseret kasus hukum,” jelasnya.
Kesalahan kecil dalam proses produksi, katanya, bisa berujung besar jika tak disertai pemahaman hukum dan sertifikasi yang memadai.
Pengalaman lapangan datang dari Diyah Rahmawati Wicaksana Ningtyas, pendiri Abang Sayur Organik. Ia memaparkan bagaimana transisi dari lahan konvensional ke lahan organik memerlukan perencanaan matang dan disiplin sistematis.
“Organik itu bukan sekadar tidak memakai pestisida. Ia sistem: dari tanah, benih, produksi, hingga pemasaran. Semua harus terukur,” ujarnya.
Menurutnya, legalitas edar dan food safety menjadi kunci utama untuk membangun kepercayaan pasar sekaligus menarik mitra bisnis maupun dukungan lembaga keuangan.
Dari sisi legal-formal, Mochamad Syafrizal Basori, notaris sekaligus dosen Fakultas Hukum UB, menekankan pentingnya petani memiliki badan hukum. Dengan entitas yang sah, kelompok tani bisa mengakses permodalan, mengurus pajak, dan melindungi diri dari sengketa. Ia menjabarkan langkah teknis mulai dari pendaftaran OSS, NPWP, hingga pengurusan dokumen usaha.
“Badan hukum bukan beban administratif. Ia justru pondasi agar usaha pertanian tidak mudah diguncang,” ujarnya.
Masuk ke ranah kemitraan, Tazkiya Lidya Alamri dari PERSADA UB menjelaskan strategi pengembangan usaha lewat kontrak kerja sama dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Ia mendorong petani agar tak hanya menanam, tetapi juga mematenkan inovasi dan merek yang mereka hasilkan.
Sementara Octadila Laily Anggraeni dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UB mengingatkan pentingnya literasi keuangan. Kesalahan kecil dalam pembukuan, katanya, bisa menyesatkan seluruh arah bisnis.
“Petani harus belajar menghitung agar tahu mereka untung atau justru sedang rugi,” ucapnya tajam.
Materi terakhir dibawakan oleh Eny Yulianti, Bendahara LPPNU Kota Malang sekaligus Kepala Halal Center UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Ia mengingatkan bahaya pangan instan dan pentingnya produk organik yang benar-benar bersertifikat halal dan aman edar.
“Jangan hanya fokus pada produksi. Legalitas halal dan izin BPOM juga bagian dari tanggung jawab moral,” tegasnya.
Di penghujung acara, para peserta menyadari satu hal sederhana tapi mendasar: keadilan pangan tak mungkin lahir tanpa keadilan hukum.
Petani organik, yang mestinya jadi garda depan ketahanan pangan, justru rentan tersisih karena lemahnya regulasi dan perlindungan negara.
Melalui kolaborasi antara PERSADA UB, LPBHNU, dan LPPNU, lahir kesepahaman bahwa pendidikan hukum harus menjadi bagian dari gerakan pertanian berkelanjutan. Negara perlu turun tangan, bukan sekadar memberi subsidi, tapi memastikan hukum juga berpihak pada mereka yang menanam kebaikan untuk bumi.










