VOJ– Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terus menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama akademisi. Isu utama yang mencuat adalah keseimbangan kewenangan antara lembaga penegak hukum serta dampaknya terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Ahli Hukum Administrasi Negara, Sudarsono, menyoroti perlunya keseimbangan kewenangan dalam revisi ini. Menurutnya, RUU KUHAP bertujuan menciptakan sistem hukum yang menyeluruh, namun harus dipastikan bahwa setiap lembaga tetap memiliki peran yang proporsional.
“Saya menemukan satu kata kunci, yaitu proporsional. Keseimbangan kewenangan harus sesuai dengan porsi masing-masing lembaga. Jika tidak, bisa menimbulkan tumpang tindih atau bahkan monopoli kekuasaan,” ujar Sudarsono dalam diskusi publik di Universitas Brawijaya (UB), Selasa (11/2/2025).
Salah satu isu terbesar adalah perluasan kewenangan kejaksaan dalam penyidikan dan penuntutan. Ahli Kebijakan Publik, Andy Fefta Wijaya, menilai bahwa perluasan ini berpotensi membuat kejaksaan menjadi lembaga super body yang terlalu dominan dalam proses hukum.
“Jika ada kekurangan di kepolisian, seharusnya solusinya bukan memberikan lebih banyak kewenangan ke kejaksaan, melainkan memperbaiki mekanisme di kepolisian sendiri. Jangan sampai kejaksaan jadi terlalu besar dan justru melemahkan sistem checks and balances,” kata Andy.
Selain itu, Andy juga menyoroti pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) dalam revisi RUU ini. Menurutnya, aturan yang ada harus menjamin bahwa tidak ada kesewenang-wenangan dalam proses penegakan hukum, baik terhadap korban maupun tersangka.
“Dalam KUHAP yang baru, seharusnya ada perhatian lebih pada perlindungan korban dan tersangka. Jangan sampai terjadi salah tangkap atau kesalahan dalam penerapan hukum yang justru merugikan masyarakat,” tegasnya.
Sementara isu lain yang turut mencuat adalah efisiensi anggaran dalam sistem peradilan. Andy menyebut bahwa anggaran kepolisian terbatas, sehingga ada wacana distribusi kewenangan ke kejaksaan. Namun, hal ini perlu dikaji lebih lanjut agar tidak justru menambah beban tanpa solusi yang jelas.
“Apakah solusi terbaik adalah menaikkan anggaran untuk peradilan atau justru mengefektifkan sistem yang ada? Di Australia, misalnya, ada mekanisme alternatif dalam penyelesaian perkara. Kita perlu mempertimbangkan hal serupa agar sistem hukum lebih efisien tanpa mengorbankan keseimbangan lembaga,” jelas Andy.
Seperti diketahui, sampai saat ini, RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP masih dalam proses pembahasan di DPR. Namun, para akademisi menegaskan bahwa revisi ini harus benar-benar dikaji secara mendalam agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sistem hukum Indonesia.