KOTA MALANG, VOICEOFJATIM.COM – Praktik penahanan ijazah yang dilakukan oleh sebuah perusahaan terapi di Kota Malang memantik reaksi serius dari DPRD. Puluhan karyawan yang bekerja di perusahaan jasa pijat bernama AMS, yang berlokasi di Kecamatan Blimbing, mengaku mengalami pelanggaran hak, mulai dari pemaksaan perjanjian kerja sepihak hingga sistem denda yang dianggap tidak manusiawi.
Anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Ginanjar Yoni Wardoyo, menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima sejumlah keluhan dari para pekerja AMS sejak beberapa waktu lalu. Keluhan tersebut tidak hanya soal ijazah yang ditahan, tapi juga menyangkut sanksi denda yang nominalnya bisa mencapai puluhan juta rupiah.
“Karyawan menyampaikan kepada kami bahwa mereka diminta menyerahkan ijazah sebagai syarat bekerja, disertai perjanjian sepihak yang tak bisa dinegosiasikan. Selain itu, kebijakan denda kepada karyawan bisa sampai Rp45 juta,” ujar Ginanjar, Senin (16/6/2025).
Ginanjar mengungkapkan bahwa saat ini masih ada sekitar 60 ijazah karyawan yang belum dikembalikan. Meski sebelumnya DPRD bersama Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Malang telah mendorong perusahaan untuk mengembalikan dokumen tersebut, realisasinya masih minim.
Lebih mengkhawatirkan, Ginanjar menambahkan bahwa beberapa pekerja yang menjalankan terapi, termasuk terapi urat, tidak memiliki sertifikasi profesi yang layak. Hal ini dinilai membahayakan keselamatan konsumen dan membuka potensi terjadinya malpraktik.
“Perusahaan berdalih bahwa penyerahan ijazah merupakan bentuk kesepakatan awal. Tapi kami tegaskan, sesuai dengan surat edaran Kementerian Ketenagakerjaan, perusahaan tidak diperbolehkan menahan dokumen pribadi karyawan dalam bentuk apapun,” tegas Ginanjar.
Melihat kompleksitas persoalan, DPRD berencana memanggil berbagai pihak untuk duduk bersama, mulai dari dinas terkait hingga aparat penegak hukum. Persoalan ini dinilai menyangkut perizinan, ketenagakerjaan, hingga perlindungan konsumen.
“Karena lintas sektor, kami akan libatkan Komisi A yang membidangi perizinan dan Komisi B untuk urusan ketenagakerjaan. Kami tidak ragu untuk mendorong pelibatan aparat penegak hukum jika diperlukan,” tambahnya.
Sementara itu, seorang karyawan AMS yang meminta identitasnya dirahasiakan mengaku hanya menjalani orientasi singkat sebelum mulai bekerja. Parahnya, bila tidak masuk kerja sehari saja, denda sebesar Rp450 ribu langsung dikenakan.
“Saya cuma dapat briefing tiga hari sebelum mulai kerja. Ada teman yang malah cuma sehari. Tapi begitu izin tidak masuk, langsung dipotong, dan denda datang begitu saja,” ujarnya.
Keluhan juga datang dari pekerja lain berinisial G, yang menjelaskan bahwa denda diterapkan berdasarkan sisa masa kontrak. Misalnya, jika kontrak tersisa tiga bulan, maka karyawan harus membayar denda sebesar tiga kali gaji pokok.
“Kalau gaji pokok Rp1 juta, dan sisa kontrak tiga bulan, maka dendanya Rp3 juta. Semakin lama sisa kontraknya, makin besar dendanya,” jelas G.
DPRD menegaskan bahwa pihaknya akan mengawal kasus ini hingga tuntas, demi memastikan hak-hak pekerja tidak dilanggar dan perusahaan menjalankan kewajiban sesuai aturan.